Hukum Jual Beli Saat Adzan Jum’at


I. PENDAHULUAN
Hari Jum’at merupakan hari yang diberkati, ia adalah sebaik-baik hari yang terbit  matahari pada paginya. Pada hari inilah Nabi Allah Adam alaihissalam diciptakan, dimasukkan ke dalam syurga dan dikeluarkan daripadanya. Padanya juga akan terjadi hari kiamat dan yang perlu kita ketahui juga ialah terdapat satu saat yang mana Allah akan memperkenankan doa-doa hamba-Nya. Oleh karena kemuliaan hari tersebut, ia juga disebut dengan sayyidul ayyam yang berarti penghulu diantara hari-hari yang lain. Di dalam Al-qur’an juga mengkhususkan nya dengan surat Al-jumu’ah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang kewajiban shalat Jum’at, dan larangan untuk jual-beli. 
Karena jual-beli pada waktu tersebut dapat memalingkan manusia dari dzikrullah. Oleh karena itu, setiap urusan mu’ammalat yang mengganggu dzikrullah dan shalat, seperti akad sewaan dan gadaian juga dihukumi sebagaimana jual-beli. 

Namun yang terjadi sekarang yaitu banyaknya manusia yang masih melakukan jual-beli pada saat  tersebut, walaupun adzan Jum’at telah berkumandang. Kepada siapakah jual-beli ini diharamkan ? Apakah sama hukumnya terhadap orang yang tidak diwajibkan untuk shalat Jum’at ? Bagaimana jika salah satu yang melakukan jual-beli adalah orang yang diwajibkan untuk shalat Jum’at ?

II. PEMBAHASAN

A. Definisi jual-beli
Dalam bahasa Arab jual-beli berasal dari kata (بَيْع) yang berarti mengambil sesuatu dengan memberikan sesuatu. Adapun menurut istilah syari’at, yaitu pertukaran harta dengan harta atau bertukar kepemilikan.  Atau saling bertukar harta, walaupun dalam bentuk jaminan atau manfaat (jasa) yang diperbolehkan, yang tidak berupa riba dan tidak pula berupa jaminan. 

B. Hukum asal jual-beli
Jual-beli hukumnya boleh, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Al-baqarah: 275)

Dan berdasarkan hadist Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam bersabda: 

 (إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ، ما لم يتفرقا وكانا جميعا)

“ Bila dua laki-laki berjual beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyar (memilih untuk meneruskan atau membatalkan) selama belum berpisah dan keduanya dalam keadaan bersama.” (Muttafaqun alaih)

Kaum muslimin berijma’ atas bolehnya jual beli secara umum. Adapun hajat (kehidupan) manusia memerlukan sesuatu yang ada ditangan orang lain, dan kemaslahatannya berkaitan dengannya, sementara tidak ada sarana baginya untuk mendapatkannya dan meraihnya dengan jalan yang sah kecuali dengan jual beli, maka syari’at menuntut pembolehan dan pensyariatannya untuk mendapatkan tujuan yang diinginkannya. 

C. Jual-beli saat adzan jum’at
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk meninggalkan jual-beli saat adzan jum’at dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Perintah untuk meninggalkan jual-beli pada ayat ini bermakna larangan untuk berjual-beli pada saat tersebut. Para ahli fiqih sependapat bahwa jual-beli ini diharamkan, berdasarkan nash tersebut. Yang dimaksud ayat tersebut adalah meninggalkan segala kesibukan duniawi yang menyebabkan dikesampingkannya dzikrullah. Dikhususkannya jual beli atas aktifitas lainnya karena pekerjaan tersebut yang paling banyak digeluti orang dan paling sering menyibukkan orang di pasar sehingga lalai dari menghadiri shalat Jum’at. Karena itu, ‘segeralah kalian menuju perniagaan akhirat dan tinggalkanlah perniagaan dunia. Bersegeralah kalian menuju dzikrullah, yang tidak ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan daripada itu, dan tinggalkan jual-beli yang manfaatnya hanya sedikit.’  Maka tidak ada bedanya antara aktifitas  jual beli, penyewaan, dan pernikahan dalam pengaruhnya yang menyibukkan dari dzikrullah pada saat itu. 

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang maksud nida’ (panggilan shalat/adzan) dalam ayat di atas, “Yang dimaksud dengan nida’ ini adalah nida’/ adzan kedua yang telah dipraktekkan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu apabila beliau keluar dan duduk di atas mimbar. Karena pada saat itu adzan dikumandangkan di depan beliau. Maka dari itu adzan inilah yang dimaksudkan. 

D. Kepada siapa jual-beli ini diharamkan ?
Larangan melakukan jual beli ini ditujukan kepada orang yang dibebani kewajiban menghadiri Jum’at, yaitu muslim laki-laki, baligh, berakal, merdeka, sehat, dan bermuqim. Karenanya orang yang tidak diwajibkan menghadiri Jum’atan tidak dilarang melakukan jual beli. Maka jika dua orang anak kecil atau dua orang wanita atau dua orang musafir melakukan jual beli, maka hal itu diperbolehkan, tidak berdosa. Namun, jika salah satunya orang yang wajib melaksanakan jum’atan keduanya berdosa karena saling tolong menolong dalam dosa. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

 وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ 

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

Menurut pendapat madzhab Hambali, jual beli dan akad-akad lainnya yang dilaksanakan setelah adzan statusnya batal berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan dari urusan kami (Islam), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Sementara menurut Maliki, jual beli yang dilaksanakan pada saat itu adalah batal. Sementara membebaskan budak, pernikahan, cerai dan lainnya tidak batal, karena berdasarkan kebiasaan orang-orang, kesibukan dalam mengurusi hal itu tidak seperti kesibukan terhadap jual beli. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya memilih pendapat yang menyatakan rusak dan batalnya akad, baik itu jual beli, sewa, pelantikan, dan lainnya. 

III. KESIMPULAN
Larangan melakukan jual beli ini ditujukan kepada orang yang dibebani kewajiban menghadiri shalat Jum’at, yaitu muslim laki-laki, baligh, berakal, merdeka, sehat, dan bermuqim. Karenanya orang yang tidak diwajibkan menghadiri Jum’atan tidak dilarang melakukan jual beli. Maka jika dua orang anak kecil atau dua orang wanita atau dua orang musafir melakukan jual beli, maka hal itu diperbolehkan, tidak berdosa. Namun, jika salah satunya orang yang wajib melaksanakan jum’atan keduanya berdosa karena saling tolong menolong dalam dosa. Maka tidak ada bedanya antara aktifitas  jual beli, penyewaan, dan lainnya dalam pengaruhnya yang menyibukkan dari dzikrullah pada saat itu.

IV. PENUTUP
      Demikian yang dapat kita simpulkan. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan kami. Semoga pebahasan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin…


REFERENSI
a) Wahbah Az-zuhaili, 2006 M, Al-wajiz fii fiqh islami, Damsik, Daar Al-fikr
b) Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, 2010 M, Shahih fiqh sunnah, Kairo, Daar At-taufiqiyah li At-turats
c) Al-qurthubi, 2010 M, Jami’ li ahkamil qur’an, Kairo, Daar Al-hadist
d) Ibnu Katsir, 2016 M, Tafsir Al-qur’an al adhim, Damsik, Daar Al-‘alamiyah

Oleh : Yoko Setiawan (Mahasiswa STEI SEBI, Prodi. Hukum Ekonomi Syari'ah)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama