Islam memotivasi pemeluknya untuk menjadi pribadi yang kuat. Sedangkan kaum yang lemah adalah kumpulan dari pribadi-pribadi yang lemah. Oleh karenanya, kaum muslimin tidak boleh menjadi kaum yang mudah ditindas karena kelemahannya. Dan itu semua berporos pada satu hal yaitu kuat atau lemahnya iman dalam diri seseorang.
Pada edisi kali ini kami akan sedikit mengupas tentang syarah hadits yang memotivasi kita agar mejadi pribadi mukmin yang kuat.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukmin yang lemah, dan masing-masing ada kebaikannya. Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Apabila sesuatu menimpamu jangan katakan, ‘Seandainya aku melakukan begini tentulah akan begini dan begitu.’ Akan tetapi ucapkanlah ‘Qadarullahi wa maa syaa-a fa’ala’ (Inilah takdir Allah, dan Dia memperbuat apa yang dikehendaki-Nya). Karena ucapan seandainya membuka pintu amalan syetan.”
Riwayat:
HR. Muslim (6945), Ibnu Majah (4168), Ahmad dalam Musnad-nya (8777), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (5721), Al Bazzar dalam Musnad-nya (8835), An Nasa’i dalam Sunan Al Kubra (10382), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (6251). Semuanya dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
Syarah:
Menjadi Seorang Mukmin Yang Kuat
Orang mukmin kuat di sini adalah kuat dalam hal agamanya, badannya, jiwanya, akalnya yang semua itu mampu untuk mengemban agama, dakwah, dan untuk membelanya. Seorang mukmin baik yang kuat maupun yang lemah masing-masing memiliki kebaikan, karena mereka masih memiliki Ashlul Iman (pokok keimanan). Hanya saja, kita juga tidak boleh lemah untuk menggapai apa yang bermanfaat bagi kita. (Bahjatun Nadhirin (1/182), karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilali)
Termasuk maksud kuat di sini adalah jiwa yang kokoh dan bersemangat dalam urusan-urusan akhirat. Orang yang memiliki sifat ini adalah orang yang terdepan dalam menghadapi musuh, paling bersegera untuk mencarinya, dan ia memiliki kemauan kuat untuk beramar ma’ruf nahi mungkar, bersabar atas gangguan dan beratnya ujian. Dia adalah orang yang sangat semangat untuk menunaikan shalat, puasa, dzikir, dan seluruh ibadah lainnya. Dia paling giat untuk mencari dan menjaga ladang ibadah, dan perkara-perkara semisalnya. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim (9/19))
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, “Orang mukmin yang kuat maksudnya adalah orang mukmin yang kuat imannya bukan badannya. Sebab, kekuatan badan itu berbahaya bagi manusia jika ia gunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Secara dzatnya kekuatan badan tidak terpuji dan tidak pula tercela. Apabila manusia menggunakan kekuatan ini untuk hal-hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat maka ia menjadi terpuji. Sedangkan jika ia gunakan untuk mendurhakai Allah maka ia menjadi tercela.
Akan tetapi, kekuatan yang dimaksud dalam sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Orang mukmin yang kuat” ini adalah kekuatan iman. Kata “kuat” disini kembali kepada sifat sebelumnya, yaitu keimanan. Seperti halnya jika dikatakan “seorang laki-laki yang kuat” berarti kuat kelelakiannya. Begitu juga seorang mukmin yang kuat berarti kuat imannya.” (Syarh Riyadhush Shalihin (1/119) karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)
Yang membedakan antara mukmin yang kuat dan yang lemah adalah tingkatan kuat dan lemahnya dalam menjalani ibadah.
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “masing-masing ada kebaikannya.” Artinya, baik orang mukmin yang kuat maupun yang lemah masing-masing ada kebaikannya. Beliau mensabdakan demikian agar manusia tidak bingung bahwa seolah seorang mukmin yang lemah tak ada kebaikannya sama sekali. Padahal seorang mukmin yang lemah masih ada kebaikannya, yaitu ia lebih baik dari pada orang kafir tanpa diragukan lagi.
Bersemangat Dalam Kebaikan
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah memotivasi kita agar bersemangat untuk sesuatu yang bermanfaat. Bersemangat untuk taat kepada Allah, senang dengan apa yang ada di sisi Allah, meminta pertolongan kepada Allah dalam menjalaninya, kemudian tidak lemah dan tidak malas untuk menggapai ketaatan atau untuk meminta pertolongan.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar bersemangat dalam ketaatan kepada Allah, meminta apa yang ada di sisi-Nya, serta meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala urusannya. Sebab semangat seorang tidak akan bermanfaat jika tidak ada pertolongan dari Allah.
“Apabila belum datang pertolongan Allah bagi seorang pemuda, maka yang paling menentukan keberhasilannya adalah usahanya.” (Subulus Salam (4/207))
Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah.” Mengisyaratkan dua hal, yaitu mengambil sebab dan meminta pertolongan kepada pengatur sebab. Hendaknya seseorang mengambil sebab yang sesuai syariat, bersamaan dengan itu dia tidak boleh bersandar kepada sebab lalu lalai dari Allah. Akan tetapi, dia harus meminta pertolongan kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar mewujudkan apa yang ia inginkan. Sehingga mengambil sebab tidak boleh menafikan tawakkal. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah penghulu orang-orang yang bertawakkal, kendati demikian beliau tetap memakai baju besi ketika berperang. (Syarh Sunan Abu Dawud (14/58), Karya Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad)
Mari kita menengok semangat para shahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan bagaimana mereka berlomba dalam kebaikan. Pada perang tabuk begitu mendengar seruan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk memerangi Romawi, kaum Muslimin langsung berlomba-lomba mematuhinya. Untuk itu mereka mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat cepat. Kabilah-kabilah arab dari pedalaman pun mulai turun dari segala arah dan penjuru menuju Madinah.
Kaum muslimin berlomba-lomba menginfakkan harta bendanya dan bersedekah. Utsman bin Affan telah mempersiapkan rombongan dagang ke kawasan Syam sebanyak 200 ekor unta beserta perlengkapan dan barang bawaannya, 200 Uqiyyah emas lalu menyedekahkannya. Kemudian menyedekahkan lagi sebanyak 100 ekor unta beserta muatannya beserta 1000 dinar yang beliau tumpahkan di pangkuan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau membolak-balikkannya seraya bersabda dua kali,
“Tidak ada yang membahayakan Utsman apa saja yang ia perbuat setelah hari ini.”
Kemudian dia terus menerus bersedekah dan bersedekah hingga harta yang disedekahkannya mencapai jumlah 900 ekor unta dan 100 kuda, belum termasuk uang.
Lalu datang Abdurrahman bin Auf dengan membawa 200 Uqiyyah perak. al-Abbas juga datang dengan harta yang banyak, demikian juga dengan Thalhah, Sa’ad bin Ubadah, dan Muhammad bin Maslamah. Sementara Ashim bin Ady datang dengan membawa 90 Wasaq kurma. Orang-orang pun silih berganti berdatangan membawa hartanya, ada yang banyak dan ada pula yang sedikit, bahkan ada di antara mereka yang datang hanya membawa satu Mud atau dua Mud gandum saja karena tidak memiliki selainnya. Di samping itu, tidak ketinggalan pula para wanita untuk mengirimkan apa yang mampu mereka mereka sumbangkan berupa kasturi, kalung, anting-anting dan cincin. Tidak ada yang kikir kecuali orang-orang munafik saja.
Umar bin Khattab juga bercerita,
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk bershadaqah, dan bertepatan aku memiliki harta. Maka kukatakan, ‘Hari ini aku akan kalahkan Abu Bakar walaupun aku kalahkan ia hanya sehari.’ Umar berkata, ‘Aku datang dengan setengah hartaku.’ Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?’ Aku menjawab, ‘Seperti itu.’ Umar berkata, ‘Kemudian Abu Bakar pun datang dengan seluruh hartanya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?’ Dia menjawab, ‘Aku tinggalkan Allah dan Rasul-Nya.’ Lantas aku pun berkata, ‘Aku tidak akan pernah mengalahkanmu selama-lamanya.” (HR. Abu Dawud (1678), Tirmidzi (3675), dan Ad Darimi (1701). Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Penutup
Demikianlah sekelumit pembahasan yang mampu kami hadirkan pada edisi kali ini, semoga dapat menambah wawasan Islam kita bersama.
Sumber : Buletin Al Islam
Tags
Tsaqofah